Pagi itu, udara Jakarta masih lembab ketika sebuah paket mencurigakan tiba di kantor redaksi Tempo. Bungkusan kardus dengan penulisan nama yang tampak tergesa, dialamatkan langsung kepada salah satu jurnalis politik mereka, Francisca Christy Rosana. Isinya? Kepala babi — lengkap dengan darah kering dan telinga yang dipotong. Bukan hanya menjijikkan, tapi juga simbolik. Dan seperti semua pesan gelap, ini tak dikirim tanpa alasan.
Beberapa hari berselang, giliran enam bangkai tikus tanpa kepala yang datang berkunjung. Deretan horor kecil ini bukan sekadar teror, tapi sandi bisu. Jika ini permainan, maka lawannya adalah kebebasan pers, dan kartunya sedang dibuka satu per satu — berdarah, membusuk, dan nyaring dalam diamnya.
Francisca Christy Rosana
sumber: theorg.com
Namun, yang membuat segalanya lebih mencurigakan adalah respons yang muncul setelahnya. Bukannya disikapi dengan serius, peristiwa ini justru dilucuti maknanya oleh seorang pejabat istana, Hasan Nasbi, yang memberi komentar sinis: "Dimasak aja." Sebuah reaksi yang terlalu ringan untuk sebuah simbol kekerasan. Atau justru disengaja ringan, agar kita berpaling dari bobot sebenarnya?
Hasan Nasbi, S.I.P.
sumber: id.wikipedia.org
Dalam dunia jurnalisme investigatif, ancaman bukan hal baru. Tapi ketika simbol-simbol kekuasaan mulai bermain menggunakan bahasa darah dan bangkai, kita tak lagi bicara soal berita — kita sedang menelusuri jejak mereka yang tak ingin diungkap. Pertanyaannya bukan hanya siapa yang mengirimkan, tapi mengapa sekarang, mengapa kepada jurnalis itu, dan apa yang sedang disembunyikan?
Mungkin, kepala babi ini adalah cara primitif menyampaikan pesan modern: diam, atau kami akan lanjutkan. Atau barangkali, seperti dalam banyak teori konspirasi yang terbungkus dalam kenyataan, ini justru permainan bayangan dari kekuatan yang sedang bertarung satu sama lain — menggunakan media sebagai papan catur.
Dan kita? Kita hanya pion yang menyaksikan... atau mungkin, saksi kunci dari sebuah babak yang tak ingin dibuka.
Kronologi Kejadian
Tanggal 19 Maret 2025, pukul 09.27 WIB — hari itu tercatat dalam sistem pengiriman sebagai waktu tibanya sebuah paket ke Gedung Tempo, Palmerah. Paket tersebut dikirim menggunakan layanan ekspedisi lokal. Tapi isinya bukan barang biasa: kepala babi, terbungkus plastik hitam, dan sudah mulai membusuk. Bau amisnya langsung menyeruak, tak hanya menusuk penciuman, tapi juga menabrak batas nalar. Bagi yang paham simbol-simbol gelap dalam sejarah, kepala babi bukan sekadar potongan hewan: ia adalah pesan.
Lebih dari sekadar ancaman, pengiriman ini terasa seperti ritual peringatan. Ditujukan langsung kepada jurnalis Francisca Christy Rosana — atau yang dikenal sebagai Cica — yang tengah meliput isu-isu politik panas menjelang transisi pemerintahan. Dalam dunia bayang-bayang, serangan semacam ini bukan hal baru. Tapi mengapa Cica? Dan mengapa sekarang?
sumber: tempo.co
Belum sempat media mencerna semuanya, paket kedua tiba. Kali ini, isinya lebih grotesk: enam bangkai tikus — tanpa kepala. Jumlahnya pun mencurigakan. Enam, angka yang kerap dikaitkan dengan simbol-simbol kerusakan atau pesan terselubung dalam budaya populer konspirasi. Apakah ini sekadar teror psikologis? Atau bagian dari skenario yang lebih dalam?
sumber: tempo.co
Paket-paket ini tidak dikirim oleh orang sembarangan. Berdasarkan hasil pelacakan awal, pengirim menyamarkan identitas dengan nama fiktif. CCTV pengiriman tak berhasil menangkap wajah pelaku dengan jelas — seperti biasa, ketika “orang dalam” tahu cara bermain bersih.
Satu hal yang jelas: dua paket, dua pesan, dan satu pola yang tak bisa diabaikan.
“Ini bukan sekadar upaya menakut-nakuti. Ini semacam komunikasi. Mereka yang mengerti pesannya akan tahu apa yang harus dilakukan — atau justru tahu apa yang harus dihentikan.”— pengamat komunikasi simbolik, dalam wawancara off the record.
Ketika kepala babi dan bangkai tikus dikirim ke meja jurnalis, kita bukan lagi sedang bicara soal kebebasan pers semata. Kita sedang menyusuri jejak di balik layar: siapa yang terganggu oleh berita? Siapa yang begitu tergesa ingin membungkam narasi?
Dan yang lebih menegangkan: siapa yang akan jadi target berikutnya?
Respons Publik dan Institusi
Ketika kepala babi dikirim ke meja redaksi, bukan hanya Tempo yang terguncang. Dunia jurnalisme Indonesia ikut mengerutkan dahi, dan publik—yang masih menyimpan kepercayaan pada media independen—tak tinggal diam. Suara kecaman berdatangan, tetapi seperti biasa, tak semua bernada tulus. Di balik solidaritas, ada juga suara-suara yang terdengar seperti bisikan... atau mungkin isyarat untuk berhenti.
Dewan Pers bertindak cepat, mengutuk keras tindakan yang mereka sebut sebagai bentuk teror terhadap jurnalis. Mereka menyebut bahwa ini bukan sekadar tindakan kriminal biasa, melainkan ancaman langsung terhadap kemerdekaan pers. Saran mereka? Lapor polisi, minta perlindungan, dan jangan takut.
Tapi publik tahu, laporan ke polisi tak selalu berakhir dengan pelaku tertangkap. Terutama jika pelaku itu bukan orang biasa. Terutama jika laporan itu menyerempet orang yang punya akses ke sumber daya—atau kebal dari sorotan hukum.
Komnas HAM menyatakan keprihatinan dan menyerukan pengusutan menyeluruh. Pernyataan mereka jelas dan lugas:
sumber: nasional.kompas.com
“Ini bukan hanya ancaman terhadap jurnalis, tapi terhadap hak masyarakat atas informasi yang jujur.”
Namun pernyataan tanpa tindakan kadang terdengar seperti alarm kebakaran yang terus menyala tanpa ada petugas pemadam yang datang. Tetap nyaring, tetap menyala, tapi api terus berkobar.
Presiden Prabowo merespons dengan pernyataan yang terdengar bijak, namun samar:
sumber: cnnindonesia.com
“Ini upaya adu domba.”
Sebuah pernyataan yang bisa dibaca dalam dua arah: bahwa teror itu bukan berasal dari lingkaran kekuasaan, atau justru berasal dari dalam, tapi ingin disamarkan sebagai konflik horisontal. Dalam dunia konspirasi, kalimat semacam ini adalah kode—mendamaikan permukaan, tapi membiarkan dasar tetap keruh.
Lalu tibalah komentar yang membuat publik mengangkat alis: Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, menjawab dengan santai,
sumber: indojayanews.com
“Kepala babinya dimasak aja.”
Seketika media sosial meledak. Komentar itu dituding sinis, dingin, dan menghina. Tapi mungkin justru itu tujuannya. Dalam permainan kekuasaan, komentar semacam ini berfungsi seperti sinyal ke sesama pemain: kami tidak terguncang, bahkan kami anggap ini lelucon.
Atau lebih gelap lagi—mungkin komentar itu bukan sekadar sarkasme, tapi kode dalam percakapan antar mereka yang saling memahami peran masing-masing di balik layar.
Tempo dan Reputasi Investigatifnya
Tempo bukan media biasa. Ia lahir dari semangat perlawanan terhadap pembungkaman informasi sejak era Orde Baru. Dalam dunia jurnalisme, Tempo dikenal sebagai peliput yang tak takut pada kekuasaan—justru sering menyorot terang ke tempat-tempat paling gelap. Dan di situlah letak masalahnya.
Selama bertahun-tahun, Tempo telah mengguncang banyak kursi empuk kekuasaan. Dari membongkar jaringan korupsi kelas kakap, manipulasi anggaran, konflik kepentingan antara pengusaha dan pejabat, hingga laporan tentang kekerasan aparat. Setiap artikel bukan sekadar laporan, tapi seperti peluru kata yang mengarah tepat ke dada kekuasaan.
sumber: tempo.id
Francisca Christy Rosana—jurnalis yang menerima kepala babi itu—bukan orang sembarangan di redaksi. Ia dikenal kritis, teliti, dan berani membongkar kisah di balik tembok-tembok istana. Beberapa bulan terakhir, namanya tercantum dalam berbagai artikel investigasi tentang transisi kekuasaan, peran shadow cabinet, dan bagaimana sejumlah elite mempertahankan cengkeramannya di belakang layar, bahkan setelah pergantian presiden.
Dan perlu dicatat: pengiriman kepala hewan bukan sekadar iseng. Dalam dunia intelijen bawah tanah, ini adalah teknik klasik: “kode peringatan” yang menyampaikan satu pesan tunggal — berhenti atau bersiap hadapi akibatnya. Pernah dilakukan pada jaksa, aktivis, hingga hakim-hakim bersuara lantang. Kini giliran jurnalis.
Lebih mencurigakan lagi, insiden ini datang hanya beberapa minggu setelah Tempo menerbitkan serangkaian laporan yang memuat bocoran dokumen rahasia dari lingkaran dalam kekuasaan. Dokumen-dokumen ini membongkar sejumlah manuver politik, transaksi gelap, serta pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan bisnis pribadi.
Apakah itu hanya kebetulan?
Jika mengikuti pola lama, tidak ada yang kebetulan. Serangan terhadap media seperti Tempo biasanya terjadi tidak lama setelah mereka menyentuh titik paling sensitif dari suatu sistem: kebenaran yang disembunyikan.
Tempo mungkin tidak mengatakan ini dengan lantang, tapi sikap mereka jelas. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada permunduran. Dalam dunia di mana narasi bisa dibeli, mereka tetap memilih jadi pembuat cerita—meski taruhannya adalah keselamatan sendiri.
Dan mungkin, justru karena itulah mereka menjadi target.
Kemungkinan Skenario
Setiap kejadian ganjil dalam politik dan media selalu menyisakan pertanyaan yang lebih besar dari fakta itu sendiri. Dan dalam kasus pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke Tempo, kita dihadapkan pada tiga skenario besar—masing-masing menakutkan dengan caranya sendiri.
Skenario 1: Teror Asli dari Kekuasaan yang Terganggu
Skenario ini adalah yang paling jelas: ancaman langsung dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh investigasi jurnalis. Mereka yang berada dalam posisi kuasa, tapi tak nyaman disorot, memilih menggunakan metode usang: teror fisik. Tindakan seperti ini bukan baru. Kita pernah melihatnya dalam kasus Munir, Marsinah, atau bahkan saat majalah Tempo pernah dibredel di era Orde Baru.
Pesannya sederhana: tutup mulut, atau kami yang menutupnya.
Namun, jika benar berasal dari kekuasaan, kenapa bentuknya begitu vulgar? Bukankah para pemain lama biasanya lebih elegan dalam membungkam?
Atau justru itu maksudnya—bahwa pesan ini tak lagi disampaikan lewat isyarat halus, tapi langsung, mentah, dan brutal?
Skenario 2: False Flag—Teror yang Direkayasa untuk Menyudutkan Pihak Tertentu
Di balik setiap ancaman, selalu ada kemungkinan bahwa si pelaku bukanlah yang tampak di permukaan. Dalam dunia intelijen, ini dikenal sebagai false flag operation—operasi yang sengaja dirancang agar terlihat seolah-olah dilakukan oleh pihak tertentu, padahal dalangnya justru berseberangan.
Bayangkan jika kiriman kepala babi ini bukan datang dari kekuasaan, melainkan dari lawan politik yang ingin membakar opini publik. Dengan membuat seolah-olah pemerintah terlibat dalam tindakan barbar, mereka menggeser wacana, menciptakan kekacauan narasi, dan pada akhirnya melemahkan legitimasi pihak yang sedang berkuasa.
Apakah ini terlalu rumit? Tidak, jika kita bicara politik tingkat tinggi. Di sana, segala kemungkinan adalah alat.
Skenario 3: Konflik Internal, Pesan dari Dalam Tubuh Media Sendiri
Skenario ketiga adalah yang paling sunyi tapi tak kalah berbahaya: bagaimana jika ancaman itu datang dari dalam? Dunia media, sama seperti politik, tidak steril dari konflik internal. Bisa jadi ini adalah bentuk balas dendam pribadi, peringatan antar faksi dalam redaksi, atau justru aksi provokasi untuk mempercepat perubahan arah editorial.
Kepala babi dan bangkai tikus menjadi semacam “tanda tangan” dari seseorang yang tak bisa menyuarakan langsung ketidaksetujuannya. Ini bukan tak mungkin. Dalam sejarah jurnalisme investigatif, banyak kasus sabotase datang bukan dari luar, melainkan dari mereka yang merasa tidak lagi punya tempat di dalam.
0 Komentar