Bani Israil Bukan Israel Begitu Pula Sebaliknya

Di antara nama yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Bani Israil. Tak kurang dari 40 kali nama ini muncul, menandakan betapa pentingnya posisi mereka dalam sejarah keimanan dan pelajaran umat manusia. Tapi siapa sebenarnya Bani Israil ini, dan mengapa Al-Qur’an begitu sering menyebut mereka—kadang dalam pujian, kadang dalam teguran keras?

1. Makna Bani Israil dalam Al-Qur’an
Secara bahasa, Bani Israil berarti anak-anak atau keturunan Israil. Dalam hal ini, Israil adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘alaihis salam, cucu dari Nabi Ibrahim. Jadi, Bani Israil adalah anak keturunan Nabi Ya’qub, yang terbagi menjadi 12 suku besar dari 12 putranya.

Nabi Ya’qub diberi julukan Israil, yang menurut sebagian ahli tafsir berarti “hamba Allah” atau “yang berjuang bersama Allah”. Maka, menyebut Bani Israil berarti merujuk pada keturunan langsung dari seorang nabi yang mulia.

Dalam Al-Qur’an, Bani Israil dikenal sebagai umat yang pernah dipilih Allah dan diberi banyak karunia:
  • Diutusnya banyak nabi di tengah mereka, mulai dari Musa, Harun, Daud, Sulaiman, hingga Isa ‘alaihimussalam
  • Diberikan kitab Taurat
  • Diselamatkan dari kekejaman Fir’aun melalui mukjizat Nabi Musa
  • Diberi makanan dari langit: manna dan salwa
Namun sayangnya, nikmat besar itu tak sebanding dengan ketaatan mereka. Berkali-kali Al-Qur’an mencatat pembangkangan mereka, seperti:

📖 “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji kamu dan Kami angkat bukit (Sinai) di atasmu (seraya berfirman), 'Peganglah teguh-teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!' Mereka menjawab, 'Kami dengar, tetapi kami tidak akan menaati.'”
(QS. Al-Baqarah: 93)

Bani Israil bukan sekadar nama dalam kitab suci. Mereka adalah gambaran nyata tentang bagaimana manusia bisa jatuh ketika kufur terhadap nikmat dan petunjuk ilahi. Mereka menuntut kepada Nabi Musa untuk melihat Allah secara langsung, mereka menyembah anak sapi saat Musa pergi menerima wahyu, bahkan mereka membunuh nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Namun Allah tetap menyebut mereka dalam Al-Qur’an sebagai pelajaran bagi umat Muhammad ﷺ.

📖 “Dan sungguh Kami telah memberikan petunjuk kepada Bani Israil, dan telah Kami turunkan kepada mereka Kitab, kekuasaan, dan kenabian, serta Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (lain) di dunia (pada masa itu).”
(QS. Al-Jatsiyah: 16)

Ayat ini menjadi pengingat bahwa kedudukan mulia tidak akan bertahan jika tidak dibarengi dengan ketaatan.

Dalam kisah Bani Israil, Al-Qur’an tidak sekadar bercerita tentang umat terdahulu. Tapi secara halus, ia mengajak umat Islam untuk tidak jatuh dalam kesalahan yang sama:
  • Mengabaikan wahyu
  • Mengubah ajaran agama
  • Memilih hawa nafsu di atas perintah Tuhan
  • Menuntut keajaiban tapi enggan beriman
Kita bukan Bani Israil, tapi sifat-sifat mereka bisa muncul di dalam diri siapa saja. Itulah kenapa Al-Qur’an mengulang-ulang kisah mereka—bukan untuk menjelekkan, tapi untuk memperingatkan.

2. Israel dalam Islam
Di tengah hiruk-pikuk geopolitik dan berita internasional, kata “Israel” sering kali langsung dikaitkan dengan entitas negara modern. Tapi jika kita menyelami teks-teks suci Islam—terutama Al-Qur’an dan tafsir para ulama—kita akan menemukan bahwa “Israel” dalam Islam bukanlah negara, melainkan seorang nabi: Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.

Israel Sebuah Nama, Bukan Negara

Nama “Israel” berasal dari bahasa Ibrani kuno, dan menurut sejumlah ahli tafsir serta sejarawan Muslim, maknanya adalah “hamba Allah” (Isrā = hamba, El = Allah). Nama ini menjadi gelar atau nama kehormatan yang diberikan kepada Nabi Ya’qub, putra dari Nabi Ishaq dan cucu Nabi Ibrahim.

Meskipun nama “Israel” tidak disebut secara eksplisit sebagai nama Nabi Ya’qub dalam ayat Al-Qur’an, ia terkait erat dengan istilah “Bani Israil”, yang secara otomatis merujuk pada keturunannya.

📖 QS. Ali Imran: 93
“Segala makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil atas dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan…”

Menurut tafsir Ibnu Katsir, “Israil” yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Ya’qub, dan makanan yang diharamkannya atas dirinya sendiri adalah daging unta dan susu unta, karena alasan pribadi—kemungkinan sebagai bentuk nadzar atau pengobatan.

Dalam Tafsir al-Tabari, al-Qurthubi, hingga Ibnu Katsir, para ulama sependapat bahwa “Israil” dalam Al-Qur’an adalah Nabi Ya’qub. Bahkan dalam beberapa hadis dan riwayat Israiliyat (cerita-cerita dari tradisi Yahudi yang tidak bertentangan dengan Islam), nama itu digunakan secara umum untuk merujuk pada beliau.

Jadi, setiap kali disebut “Bani Israil”, kita sebenarnya sedang membicarakan umat keturunan seorang nabi yang suci dan mulia, bukan merujuk pada bangsa atau negara seperti yang dikenal saat ini.

Nabi Ya’qub ‘alaihis salam dikenal sebagai sosok yang sangat penyabar, penuh kasih sayang kepada anak-anaknya, dan amat dekat kepada Allah. Ia adalah ayah dari Nabi Yusuf ‘alaihis salam, dan dari keturunannyalah muncul dua belas suku besar Bani Israil.

Dalam surat Yusuf, kita melihat bagaimana Ya’qub menunjukkan karakter spiritual yang luar biasa:

📖 “Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS. Yusuf: 86)

Kebesaran spiritual Nabi Ya’qub inilah yang membuat kita harus membedakan antara "Israel" dalam arti kenabian dan kesalehan, dengan "Israel" dalam konteks geopolitik masa kini.

Mengapa penting sekali memahami bahwa Israel dalam Islam merujuk pada Nabi Ya’qub?

Karena jika tidak, akan timbul kekeliruan fatal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ketika Allah menyebut Bani Israil sebagai umat yang dimuliakan, bisa jadi seseorang menyangka bahwa ayat itu merujuk pada negara Israel modern—padahal maknanya sangat jauh berbeda.

3. Bani Israil dalam Hadis
Bani Israil memang banyak disebut dalam Al-Qur’an, tapi kisah mereka juga mendapat tempat khusus dalam hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ. Menariknya, dalam hadis-hadis ini, Nabi tidak hanya menceritakan ulang sejarah mereka, tapi seringkali menggunakan kisah Bani Israil sebagai peringatan, ibrah, dan bahkan perbandingan terhadap umat Islam.

Dengan kata lain, mereka adalah cermin masa lalu yang memantulkan gambaran masa depan, termasuk untuk kita yang hidup hari ini.

Nabi ﷺ Berkisah tentang Mereka, Tapi untuk Kita

Banyak orang berpikir bahwa cerita-cerita Bani Israil dalam Islam hanya sekadar “dongeng umat terdahulu”. Tapi tidak. Nabi Muhammad ﷺ dengan sengaja menyampaikan berbagai kisah mereka bukan untuk menghibur, tetapi untuk memperingatkan. Misalnya dalam sabdanya yang terkenal:

📌 “Sungguh, kalian (umat Islam) akan mengikuti jejak langkah umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga jika mereka masuk ke lubang biawak pun kalian akan mengikutinya.” Para sahabat bertanya: “Apakah mereka itu Bani Israil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Lantas siapa lagi?”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menyiratkan bahwa penyimpangan yang pernah dilakukan oleh Bani Israil bisa terulang di kalangan umat Islam, jika tidak berhati-hati.

Kisah Bani Israil dalam hadis juga menggambarkan berbagai bentuk penyimpangan yang mereka lakukan, seperti:
  • Mengubah isi kitab suci demi kepentingan pribadi atau golongan
  • Mendewakan ulama dan rahib mereka melebihi batas
  • Bermain-main dengan hukum Allah, hanya menegakkan hukum jika yang melanggar adalah orang biasa, tapi diam jika yang bersalah adalah orang terpandang
Nabi ﷺ bersabda:

📌“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, jika orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Namun jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya...”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi lalu menegaskan bahwa Islam datang untuk menegakkan keadilan—tanpa pandang bulu.

Menariknya, tidak semua cerita tentang Bani Israil dalam hadis bersifat negatif. Ada pula kisah-kisah mereka yang bernilai moral tinggi dan diceritakan untuk memotivasi, seperti:
  • Kisah tiga orang Bani Israil: si belang, si botak, dan si buta, yang diuji oleh Allah dengan kenikmatan dunia
  • Kisah pembunuh 99 nyawa yang bertaubat dan diterima oleh Allah
Kisah-kisah seperti ini disebut Israiliyat shahihah—yakni riwayat dari umat terdahulu yang diakui oleh Nabi Muhammad ﷺ. Ini menunjukkan bahwa meskipun banyak penyimpangan, masih ada mutiara hikmah dari kisah mereka yang bisa dijadikan teladan.

Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan bahwa kita, umat Islam, berada di jalan yang sama dengan umat-umat sebelumnya. Kita juga punya kitab, punya pemuka agama, punya hukum-hukum syariat. Maka, jangan sampai kita jatuh dalam lubang yang sama:
  • Meremehkan perintah Allah
  • Memandang sebelah mata ajaran Rasul
  • Mengubah agama demi kepentingan pribadi
  • Terlena dalam dunia tapi melupakan akhirat
4. Apakah Bani Israil Sama dengan Negara Israel Saat Ini?
Pertanyaan ini mungkin terlihat sederhana, tapi jawabannya membuka gerbang ke pembahasan yang kompleks—karena menyentuh ranah sejarah, agama, politik, bahkan identitas suatu bangsa. Yang pasti, dalam perspektif Islam dan Al-Qur’an, Bani Israil tidaklah identik dengan negara Israel modern.

Yuk, kita bedah secara perlahan.

Seperti yang kita bahas sebelumnya, Bani Israil adalah anak keturunan Nabi Ya’qub (Israel). Mereka adalah umat terdahulu yang secara historis menerima banyak nabi dan kitab-kitab suci. Namun perjalanan mereka dipenuhi dengan ujian iman dan cobaan keistiqamahan.

Bani Israil adalah sebuah komunitas religius dan etnis yang eksis berabad-abad sebelum Islam datang, bahkan jauh sebelum berdirinya negara-negara modern.

Sedangkan negara Israel yang kita kenal sekarang adalah entitas politik yang didirikan pada tahun 1948, di wilayah yang pada saat itu dikenal sebagai Palestina. Proklamasi ini terjadi setelah konflik panjang, perpindahan populasi, dan campur tangan kekuatan kolonial, terutama Inggris pasca Perang Dunia II.

Secara hukum dan realitas geopolitik, negara Israel adalah negara modern sekuler. Ia berdiri bukan karena wahyu atau titah nabi, melainkan melalui deklarasi sepihak dan pengakuan dari komunitas internasional (yang hingga kini masih ditentang banyak negara). Bisa dibilang Israel merupakan negara Ilegal karena menduduki atau menjajah tanah milik Palestina.

Lalu Apakah Orang Israel Sekarang Masih Keturunan Nabi Ya’qub?

Pertanyaan ini cukup rumit. Karena:

Sebagian penduduk Israel adalah Yahudi Ashkenazi, keturunan Eropa Timur yang kemungkinan bukan darah murni dari Nabi Ya’qub, melainkan hasil konversi ke agama Yahudi.
  • Ada juga Yahudi Sephardim dan Mizrahim, yang memang berasal dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara—mereka lebih dekat secara etnis dengan keturunan Nabi Ya’qub.
  • Namun, agama Yahudi modern tidak lagi sepenuhnya mencerminkan ajaran Nabi Musa atau kitab Taurat yang asli, karena telah bercampur dengan tradisi rabinik dan interpretasi Talmud.
  • Dengan kata lain, banyak dari penduduk Israel saat ini tidak lagi terikat secara langsung pada misi kenabian Bani Israil seperti yang disebut dalam Al-Qur’an.
Dengan kata lain, banyak dari penduduk Israel saat ini tidak lagi terikat secara langsung pada misi kenabian Bani Israil seperti yang disebut dalam Al-Qur’an.

Penting untuk diketahui: negara Israel modern adalah negara sekuler dan nasionalis, bukan negara teokrasi atau kerajaan kenabian. Mereka tidak mengikuti hukum Taurat secara utuh, apalagi syariat Islam.

Jadi, saat Al-Qur’an memuji atau mengecam Bani Israil, itu tidak bisa serta merta ditujukan pada Israel sebagai negara sekarang. Banyak ulama menegaskan bahwa kita tidak boleh mencampuradukkan istilah Qurani dengan realitas politik modern tanpa konteks yang tepat.

🔍 Mengganti konteks Bani Israil dalam Al-Qur’an dengan asumsi tentang negara Israel hari ini adalah kekeliruan tafsir yang berbahaya. Bisa menyesatkan pemahaman agama, dan bahkan dipakai untuk membenarkan kekerasan atau penjajahan.

Ironisnya, penjajahan atas rakyat Palestina yang dilakukan oleh negara Israel hari ini bertentangan dengan prinsip keadilan yang diajarkan oleh Taurat maupun Islam. Bahkan banyak rabi Yahudi dari kelompok anti-Zionis seperti Neturei Karta yang menentang pendirian negara Israel karena dianggap bertentangan dengan ajaran nabi-nabi Bani Israil sendiri.

5. Menyikapi Bani Israil dan Israel Masa Kini
Setelah semua pembahasan panjang di atas, satu pertanyaan besar muncul di benak pembaca: lalu bagaimana sikap kita sekarang?

Apakah kita harus membenci semua orang Yahudi? Apakah kita harus mencampuradukkan ayat Al-Qur’an tentang Bani Israil dengan konflik Palestina-Israel hari ini? Ataukah kita hanya diam menonton ketidakadilan yang terjadi di depan mata?

Di bagian ini, kita akan coba merumuskan sikap yang adil, proporsional, dan Qurani—karena Islam selalu mengajarkan berdiri di atas prinsip, bukan prasangka.

Al-Qur’an tidak pernah menyuruh umat Islam untuk membenci seseorang hanya karena keturunannya. Bahkan terhadap Bani Israil, meskipun banyak dicela karena penyimpangan mereka, Allah tetap memberikan mereka kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus.

📖 “Dan di antara kaum Musa terdapat suatu umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu pula mereka menjalankan keadilan.”
(QS. Al-A'raf: 159)

Artinya, tidak semua keturunan Bani Israil itu buruk. Bahkan dalam konteks sekarang, tidak semua orang Yahudi mendukung pendudukan atas Palestina. Banyak aktivis Yahudi yang justru membela hak-hak warga Palestina, bahkan menentang pendirian negara Israel atas dasar agama.

Sikap kita harus jelas: kita menolak penjajahan, menentang kezaliman, bukan membenci etnis tertentu.

Sebagai umat yang meyakini Al-Qur’an sebagai petunjuk, kita harus mampu membedakan antara istilah Bani Israil dalam Al-Qur’an (yang bersifat teologis dan historis) dengan negara Israel hari ini (yang bersifat politis dan kolonial).

Kalau tidak, kita bisa terjebak dalam kekeliruan fatal:
  • Menganggap setiap ayat tentang Bani Israil sebagai dukungan atau kutukan terhadap negara Israel modern
  • Membenarkan kebencian tanpa dasar kepada seluruh komunitas Yahudi
  • Atau sebaliknya, menggunakan ayat-ayat Qur’an untuk melegitimasi penjajahan yang dilakukan atas nama klaim warisan sejarah
Itu semua bukan sikap yang diajarkan Rasulullah ﷺ

Jika kita ingin tahu bagaimana sikap terbaik terhadap keturunan Bani Israil dan orang Yahudi secara umum, lihatlah Rasulullah ﷺ:
  • Beliau pernah membuat piagam bersama kaum Yahudi Madinah dalam Mitsaq Madinah, selama mereka memegang kesepakatan damai
  • Tapi ketika mereka berkhianat, seperti Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, beliau bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku
  • Dalam banyak riwayat, beliau memperlakukan tetangga Yahudi dengan baik, bahkan menengok mereka saat sakit
Artinya, Islam mengajarkan akhlak mulia kepada semua, tapi juga tidak ragu mengambil sikap terhadap pengkhianatan dan kezaliman.

Kita pun sebagai umat Islam zaman ini tidak bisa lepas tangan dalam isu Palestina. Tapi perjuangan ini tidak boleh semata-mata didasarkan pada kemarahan atau sentimen historis. Ia harus dilandasi oleh:
  • Pemahaman mendalam akan sejarah dan wahyu
  • Kecintaan terhadap keadilan dan penolakan terhadap penjajahan
  • Dukungan terhadap korban tanpa meniru perilaku penjajah
Dengan begitu, kita bisa menjadi umat yang berdiri di sisi yang benar, tanpa kehilangan nilai-nilai luhur Islam.

6. Penutup
Bani Israil adalah kisah umat terdahulu yang penuh pelajaran—tentang bagaimana karunia bisa berubah jadi kutukan ketika diselewengkan. Sementara Israel modern adalah cerita kolonialisme yang dibungkus narasi keagamaan dan identitas etnis.

Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk belajar dari masa lalu, tegas dalam menyikapi kezaliman, dan adil dalam melihat manusia. Karena hanya dengan itulah kita bisa membangun peradaban yang lebih baik—bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk seluruh umat manusia.

Komentar

Postingan Populer

MISTERI UNFINISHED RACE JAMES WORSON: FAKTA ATAU FIKSI?

Misteri Dover Demon

Yeti

ASAL USUL MISTERIUS 'THE GRAND GRIMOIRE': SETAN SEBAGAI PENULISNYA?