"Yang menguasai pembayaran, menguasai perdagangan. Yang menguasai perdagangan, mengendalikan dunia."
1. Pendahuluan
Pada tahun 2019, dunia keuangan Indonesia mengalami perubahan besar. Sesuatu yang sederhana, tapi penuh potensi untuk mengguncang ekosistem pembayaran global. QRIS—Quick Response Code Indonesian Standard—diwujudkan oleh Bank Indonesia (BI) bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI).
Tak seperti sistem pembayaran digital lainnya yang terpecah-pecah, QRIS menawarkan satu kode universal yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi pembayaran. Tujuannya sederhana: mempermudah transaksi non-tunai di seluruh Indonesia. Dengan QRIS, siapa pun bisa melakukan pembayaran cukup dengan memindai satu kode.
sumber: logowik.com
Bukan hanya bagi konsumen, tetapi bagi pelaku usaha, inisiatif ini membuka peluang besar untuk inklusivitas dan efisiensi dalam sistem pembayaran.
Namun, di balik inovasi ini, ada sesuatu yang lebih besar yang perlahan mulai terlihat. Sesuatu yang tak hanya melibatkan pasar Indonesia, tapi juga mengancam tatanan yang lebih luas — sebuah tatanan yang sudah lama dikuasai oleh negara adidaya, Amerika Serikat.
Baru-baru ini, Bank Indonesia mendapatkan perhatian tidak hanya dari masyarakat domestik, tetapi juga dari pemerintah Amerika Serikat. Negara yang selama ini memegang kendali kuat dalam sistem keuangan global, kini mengalihkan pandangannya ke sistem pembayaran QRIS.
2. Asal-Usul QRIS
Sejak awal, ide tentang QRIS bukanlah semata-mata sebuah upaya untuk mengikuti tren global. Ini adalah kebutuhan yang lahir dari dalam negeri, sebuah solusi untuk masalah yang sudah terlalu lama ada.
Indonesia, dengan populasi besar dan keberagaman ekonomi yang melimpah, menghadapi tantangan besar dalam memperkenalkan sistem pembayaran digital yang efektif dan efisien.
Di sinilah Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) memainkan peran kunci. Pada Agustus 2019, mereka meresmikan QRIS, sebuah sistem yang menawarkan standar tunggal bagi seluruh aplikasi pembayaran digital. Tanpa memandang merek aplikasi — apakah itu Gopay, OVO, DANA, atau lainnya — QRIS memberi pengguna kemudahan dalam bertransaksi hanya dengan memindai satu kode. Semua ini adalah bagian dari inisiatif besar untuk mempercepat inklusi keuangan di Indonesia.
sumber: beasiswa.kamajaya.id
Tentu saja, di balik sistem yang tampak sederhana ini, ada strategi besar.
QRIS bukan hanya untuk mempermudah transaksi masyarakat, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap metode pembayaran lama yang lebih mahal dan kurang efisien. QRIS adalah fondasi dari sistem pembayaran yang lebih inklusif dan terintegrasi, memungkinkan masyarakat dari berbagai lapisan untuk menikmati kemudahan pembayaran digital.
Namun, seiring dengan keberhasilan penerapannya di Indonesia, QRIS mulai menarik perhatian lebih dari sekadar pengguna domestik. Tidak lama setelah itu, wacana tentang implementasi QRIS lintas negara mulai muncul, menjadikannya lebih dari sekadar alat pembayaran, tapi simbol kedaulatan digital Indonesia.
Dan di sinilah benih-benih ketegangan mulai tumbuh — sebuah sistem yang awalnya dianggap sebagai inovasi lokal, kini berhadapan dengan kekuatan ekonomi global yang terbiasa mengendalikan pasar pembayaran internasional.
3. Kritik Amerika Serikat terhadap QRIS
QRIS yang awalnya disambut hangat sebagai inovasi nasional, kini menghadapi sorotan internasional, terutama dari Amerika Serikat. Pada Maret 2025, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) dalam laporan tahunan mereka, mengungkapkan kekhawatiran terhadap sistem pembayaran Indonesia ini. Dalam laporan yang berjudul National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, QRIS disebut-sebut sebagai "hambatan perdagangan," dengan klaim bahwa sistem ini membatasi akses penyedia layanan pembayaran internasional, khususnya yang berbasis di AS, ke pasar Indonesia.
Kritik Amerika ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam dunia perdagangan internasional, kebijakan yang menghalangi akses perusahaan luar negeri ke pasar domestik sering dianggap sebagai bentuk proteksionisme yang dapat merugikan. Namun, pertanyaannya adalah, apakah benar ini hanya tentang "akses pasar"? Atau ada faktor lain yang lebih mendalam di baliknya?
sumber: voi.id
Di satu sisi, kita bisa memahami posisi Amerika yang ingin memastikan bahwa perusahaan-perusahaan raksasa seperti Visa dan Mastercard — dua pemain utama dalam dunia pembayaran internasional — tetap memiliki ruang di pasar global, termasuk Indonesia. Selama ini, sistem pembayaran global memang didominasi oleh mereka, dan banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masih bergantung pada sistem tersebut. QRIS, yang menawarkan solusi alternatif, tentu saja menjadi tantangan besar bagi status quo.
"Status quo, dalam bahasa Latin berarti "keadaan yang ada" atau "keadaan sekarang". Analogi yang sering digunakan untuk menggambarkan status quo adalah gembok ajaib yang sulit dibuka dengan kuncinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa mempertahankan status quo seringkali berarti menolak perubahan atau kemajuan, bahkan jika perubahan tersebut diperlukan. Contoh lain adalah sebuah sistem yang sudah mapan dan nyaman, namun juga menghambat perkembangan. "
Namun, jika kita melihat lebih jauh, mungkin ada alasan yang lebih besar mengapa Amerika begitu mengkritik QRIS. Sebuah sistem pembayaran digital yang bersifat lebih inklusif dan efisien, yang melibatkan sistem domestik dan terbuka untuk transaksi lintas negara, jelas bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada dolar AS dalam transaksi internasional.
Dan ini adalah hal yang tidak bisa dianggap remeh.
4. Tanggapan Indonesia
Menanggapi kritik pedas dari Amerika, Indonesia, melalui Bank Indonesia, memilih jalan yang hati-hati namun tegas. Sebagai negara berdaulat, Indonesia tidak akan tergesa-gesa dalam merombak sistem yang telah terbukti memberi manfaat besar bagi masyarakat. QRIS, yang telah berhasil merangkul ratusan juta pengguna dan merchant, bukanlah sesuatu yang bisa dibatalkan hanya karena ada tekanan dari luar.
Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, dengan diplomasi khasnya, menjelaskan bahwa Indonesia akan selalu terbuka untuk dialog dan kerja sama internasional. Namun, ia juga menegaskan dengan jelas,
sumber: cnnindonesia.com
“QRIS adalah bagian dari kedaulatan digital Indonesia. Kami akan menjaga prinsip inklusivitas dan keterbukaan, tapi tetap dengan memperhatikan kepentingan nasional.”
Begitu tegas, namun masih ada celah untuk negosiasi. Tapi, jika Amerika atau siapa pun merasa tidak nyaman dengan cara Indonesia mengatur sistem pembayarannya, sepertinya tidak ada masalah. Negara ini telah cukup jelas dalam menyampaikan bahwa sistem pembayaran digital milik mereka, aturannya mereka.
Jadi, untuk siapa pun yang merasa aturan Indonesia tidak cocok dengan prinsip mereka, mungkin saatnya untuk mempertimbangkan pilihan lain, silakan pergi. Dunia ini penuh dengan pasar yang lebih terbuka, dan QRIS bukan untuk mereka yang enggan mengikuti pola baru yang lebih adil dan transparan.
Indonesia memang tidak bisa sepenuhnya menutup diri dari dunia, namun kami tahu betul kapan harus berdiri tegak, apalagi jika yang dihadapi adalah bentuk ketidakseimbangan global yang sudah terlalu lama berlangsung. Jika ada pihak yang merasa "terancam" dengan QRIS, mungkin mereka harus merenung sejenak — apakah mereka takut kehilangan kendali atas sistem yang sudah terlalu lama mereka dominasi?
5. Ada Apa Sebenarnya?
Jika kita menyelam lebih dalam, kritik Amerika terhadap QRIS tampaknya lebih dari sekadar soal akses pasar atau "kebijakan proteksionisme" seperti yang mereka klaim. Di balik itu semua, ada gambaran yang lebih besar, sebuah pergeseran kekuatan yang mungkin membuat banyak pihak merasa tidak nyaman.
Amerika Serikat, dengan dominasi dolar AS yang sudah lama mendominasi perdagangan internasional, tidak ingin begitu saja melepaskan kontrolnya. Sistem pembayaran global yang selama ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan seperti Visa dan Mastercard, memberikan mereka akses yang sangat besar terhadap data transaksi dan, yang lebih penting, kebijakan keuangan dunia. Dengan munculnya QRIS, sebuah sistem yang lebih inklusif dan tak bergantung pada dominasi dolar, Indonesia mungkin tidak hanya menciptakan sistem pembayaran yang lebih efisien, tetapi juga memperkenalkan ancaman terhadap dominasi finansial global.
Jika QRIS berkembang, bukan hanya Indonesia yang akan diuntungkan. Sistem ini berpotensi diadopsi oleh negara-negara ASEAN dan bahkan negara berkembang lainnya. Bayangkan saja, jika lebih banyak negara memilih untuk bertransaksi menggunakan QRIS, maka ketergantungan pada sistem pembayaran berbasis dolar akan berkurang. Dan itu, tentu saja, akan mengurangi kontrol yang dimiliki oleh AS terhadap perdagangan internasional.
sumber: youtube.com
Selain itu, perlu diingat bahwa dunia digital ini sangat bergantung pada data. Setiap transaksi yang terjadi di sistem pembayaran global memberikan informasi penting, dan siapa yang mengendalikan data itu, ia yang mengendalikan dunia. QRIS, dengan desainnya yang lebih terbuka, mengancam struktur bisnis yang selama ini berbasis pada kontrol data yang sangat ketat.
Jadi, ketika Amerika mengkritik QRIS, mungkin ada rasa takut di balik itu — takut bahwa sistem pembayaran alternatif ini akan mengurangi ketergantungan pada dolar dan memecah monopoli yang telah mereka jalin selama bertahun-tahun. Apakah ini tentang kebijakan proteksionisme? Atau lebih tentang kekhawatiran akan kehilangan kekuasaan ekonomi yang sudah mereka nikmati begitu lama?
6. Konspirasi atau Kekhawatiran Nyata?
Begitu banyak teori konspirasi yang beredar di luar sana tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan dan siapa yang merasa terancam dengan lahirnya QRIS. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kritik Amerika itu hanya omong kosong belaka, atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya? Mari kita coba meruntuhkan lapisan-lapisan yang ada.
Ketergantungan pada Dolar AS
Dalam banyak hal, dominasi dolar AS dalam transaksi internasional bukanlah hal yang baru. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, dolar telah menjadi mata uang cadangan dunia. Dari perdagangan minyak hingga transaksi internasional, dolar AS menjadi standar yang tak tergantikan. Dengan begitu banyak negara yang bergantung pada dolar dalam perdagangan mereka, Amerika Serikat, tanpa disadari, telah memegang kendali atas banyak hal — termasuk arus uang global.
sumber: cepr.org
QRIS, yang memungkinkan transaksi lintas batas tanpa harus melalui dolar AS, merupakan ancaman langsung bagi kekuasaan ekonomi Amerika. Apakah Amerika mengkritik QRIS hanya karena sistem ini lebih efisien? Tentu tidak. Tapi kalau kita berpikir lebih jauh, mereka mungkin mengkhawatirkan pengurangan pengaruh dolar dalam transaksi internasional.
Kontrol Data dan Kekuasaan Ekonomi
Selain itu, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa sistem pembayaran global bukan hanya soal uang yang beredar, tetapi juga soal data. Setiap transaksi memberikan informasi yang berharga — data yang bisa digunakan untuk analisis pasar, prediksi konsumsi, dan bahkan untuk menentukan kebijakan ekonomi. Negara atau perusahaan yang mengendalikan sistem pembayaran, maka mereka juga mengendalikan data tersebut. Dengan sistem pembayaran internasional yang mengandalkan perusahaan besar seperti Visa atau Mastercard, data transaksi global berada di tangan beberapa perusahaan besar yang berpusat di Amerika.
QRIS, dengan desain yang lebih terbuka dan inklusif, berpotensi merubah pola ini. Sistem ini, yang didorong oleh kebijakan domestik Indonesia, berpotensi mengurangi ketergantungan pada sistem pembayaran yang sudah dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Dan jika lebih banyak negara bergabung, maka data yang selama ini menjadi aset berharga bagi ekonomi Amerika bisa tersebar di seluruh dunia — sesuatu yang jelas mengancam monopoli data yang dimiliki Amerika.
Sebuah Langkah Menuju Kedaulatan Digital
Namun, meskipun banyak yang menganggap kritik Amerika sebagai bentuk ketakutan terhadap ancaman baru, ada juga pandangan yang berbeda. Mungkin, kritik ini bukanlah sesuatu yang patut dipandang sebagai konspirasi, melainkan kekhawatiran nyata yang mencerminkan perubahan besar dalam tatanan ekonomi global.
sumber: jabetto.id
Dalam dunia yang semakin terkoneksi secara digital, kedaulatan digital menjadi semakin penting. Negara-negara seperti Indonesia yang ingin mengatur sistem keuangan mereka dengan cara yang lebih independen dan efisien, bisa menjadi kekuatan baru yang tidak dapat diabaikan begitu saja. QRIS bukan hanya sekadar alat pembayaran, tetapi juga sebuah simbol dari kemerdekaan ekonomi — merdeka dari dominasi perusahaan besar dan merdeka dari ketergantungan pada mata uang asing.
Jadi, apakah kritik terhadap QRIS ini hanya konspirasi belaka? Atau apakah kita benar-benar menyaksikan munculnya sebuah kekhawatiran nyata tentang pergeseran kekuatan dalam sistem pembayaran global?
Apa pun jawaban yang kita ambil, satu hal yang jelas: dunia keuangan sedang berubah. QRIS mungkin hanya langkah pertama menuju kedaulatan digital yang lebih besar, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi untuk negara-negara lain yang ingin mengatur masa depan ekonomi mereka sendiri.
7. Kesimpulan dan Pandangan Ke Depan
QRIS, meskipun dilihat awalnya hanya sebagai sebuah sistem pembayaran sederhana, ternyata menyimpan cerita yang jauh lebih besar. Apa yang dimulai sebagai inisiatif domestik Indonesia untuk mempermudah transaksi pembayaran kini telah memicu ketegangan dan diskusi di tingkat internasional. Kritik yang dilontarkan Amerika Serikat terhadap QRIS membuka jendela bagi kita untuk melihat lebih dalam tentang pergeseran kekuatan ekonomi global yang sedang berlangsung.
Di satu sisi, kita melihat Indonesia dengan tegas mempertahankan kedaulatan digital mereka, menjelaskan bahwa QRIS adalah milik mereka dan bukan untuk dipengaruhi oleh pihak luar. Sistem ini bukan hanya mempermudah transaksi domestik, tetapi juga menjadi simbol dari upaya negara-negara berkembang untuk melepaskan ketergantungan pada kekuatan ekonomi besar yang telah mendominasi sistem pembayaran global selama ini. Dengan semakin banyaknya negara yang mengadopsi QRIS, kita melihat sebuah kemungkinan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan mengalihkan arus data yang selama ini dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar.
Namun, apakah ini hanya sebuah konspirasi atau benar-benar kekhawatiran yang nyata? Kritikan Amerika terhadap QRIS bukan hanya masalah teknis atau akses pasar. Ini adalah bagian dari ketakutan yang lebih besar: kehilangan kendali atas sistem pembayaran global yang telah lama mereka dominasi. Ketika Indonesia mengusung QRIS, mereka tidak hanya menghadirkan solusi pembayaran yang lebih efisien, tetapi juga mengancam struktur kekuatan yang sudah mapan.
Apa yang akan terjadi ke depan? Dunia sedang menuju era kedaulatan digital, di mana setiap negara memiliki kendali lebih besar atas sistem pembayaran mereka, dengan sistem yang lebih terbuka dan inklusif. QRIS hanyalah langkah pertama, dan siapa yang tahu bagaimana bentuk sistem pembayaran global dalam beberapa tahun ke depan. Negara-negara yang merasa nyaman dengan ketergantungan pada sistem yang sudah ada mungkin akan menentang perubahan ini, tetapi perubahan adalah hal yang tak terhindarkan.
sumber: finansial.bisnis.com
Pada akhirnya, QRIS bukan hanya tentang kemudahan bertransaksi; ia adalah simbol dari perubahan besar dalam tatanan ekonomi global. Jika Amerika atau negara lain merasa terancam, maka mereka harus menghadapi kenyataan bahwa dunia tidak lagi hanya berpihak pada mereka. Sebuah sistem baru sedang muncul, dan mungkin inilah saatnya bagi negara-negara berkembang untuk mengambil kendali atas masa depan mereka.
Dengan itu, kita menutup diskusi panjang ini, memberi pembaca kesempatan untuk berpikir lebih dalam mengenai konflik digital yang sedang berlangsung dan bagaimana ini dapat membentuk masa depan kita.
0 Komentar