Mungkin kita terlalu cepat percaya bahwa “perang aplikasi” di Asia Tenggara telah usai. Tapi pada awal Mei 2025, desas-desus mulai berhembus dari balik layar pasar modal dan ruang konferensi startup: Grab sedang membidik GoTo. Ya, bukan berkolaborasi, melainkan mengakuisisi secara penuh.
1. Pendahuluan
Belum ada pernyataan resmi dari kedua belah pihak. Namun, sejumlah media internasional—termasuk Reuters—mengutip sumber terpercaya yang menyebutkan bahwa negosiasi tengah berlangsung, bahkan disebut-sebut akan rampung pada kuartal kedua tahun ini. Grab menaksir nilai GoTo sekitar 7 miliar dolar AS. Jika benar, ini akan menjadi salah satu akuisisi paling berani dalam sejarah ekonomi digital Asia Tenggara.
Tapi seperti biasa, hal-hal besar tak pernah datang tanpa pertanyaan.
Mengapa sekarang? Mengapa GoTo—perusahaan yang lahir dari “pernikahan sakral” Gojek dan Tokopedia—tiba-tiba terlihat seperti target yang siap diambil alih? Dan kenapa Grab, rival utamanya selama bertahun-tahun, justru menjadi pihak yang ingin mengendalikannya?
sumber: theiconomics.com
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara seperti awan mendung di atas gedung pencakar langit Jakarta.
Sementara masyarakat masih sibuk membahas layanan promosi, diskon ongkir, atau kebijakan algoritma pesanan ojek, sesuatu yang lebih besar tampaknya tengah bergerak di balik tirai. Apakah ini bagian dari strategi konsolidasi bisnis? Atau justru bagian dari proyek dominasi platform—sebuah perebutan kekuasaan gaya baru, di mana senjatanya bukan senapan, melainkan data, sistem, dan ketergantungan?
2. Babak Awal
Untuk memahami betapa besarnya gelombang yang sedang terbentuk ini, kita perlu menengok ke masa lalu—ke saat dua titan teknologi Asia Tenggara masih saling beradu cepat di jalur transformasi digital.
Grab, lahir di Malaysia dan dibesarkan di Singapura, bermula sebagai aplikasi pemesanan taksi. Tapi siapa sangka, hanya dalam waktu satu dekade, ia menjelma menjadi konglomerat digital: dari transportasi, makanan, hingga layanan keuangan. Dibekingi oleh investor kelas kakap seperti SoftBank dan Mitsubishi UFJ, Grab bukan lagi sekadar aplikasi—melainkan ekosistem.
sumber: grab.com
Sementara itu, GoTo adalah hasil fusi dari dua legenda startup Indonesia: Gojek, si pelopor ride-hailing lokal, dan Tokopedia, raksasa e-commerce buatan anak negeri. Ketika keduanya bergabung pada 2021, banyak yang menyebutnya sebagai “pernikahan unicorn” paling monumental di Asia Tenggara. Visi mereka sederhana namun ambisius: menjadi fondasi ekonomi digital Indonesia.
Namun seperti kisah-kisah besar lainnya, kekuatan bisa jadi kelemahan. GoTo dibentuk untuk bertahan, tetapi juga mewarisi beban. Kompetisi yang ketat, tekanan pasar publik, dan kebijakan efisiensi membuat valuasinya tak lagi semengkilap masa awal. Perlahan, muncul celah yang bisa dimasuki—oleh mereka yang sabar menunggu waktu yang tepat.
Dan di sinilah konstelasi mulai berubah.
Grab, setelah cukup lama bersaing secara frontal, kini justru muncul sebagai ‘penyelamat’. Tapi apakah benar motifnya hanya bisnis? Atau, seperti dalam kisah klasik The Art of War, ini adalah langkah yang dirancang sejak lama: membuat lawan lelah, lalu menawarkannya tempat berteduh—dengan harga yang ditentukan sendiri?
Merger ini bukan sekadar gabungan dua perusahaan. Ini adalah potensi penyatuan dua infrastruktur digital terbesar di kawasan, dua ekosistem data yang menyentuh miliaran transaksi, jutaan pengguna, dan ratusan ribu pelaku usaha mikro.
Jika kamu berpikir ini hanya soal diskon layanan ojek, pikirkan ulang.
Pertarungan ini lebih dalam dari layar ponselmu. Ini adalah perebutan atas siapa yang membentuk realitas harianmu—apa yang kamu beli, pesan, bayar, dan bahkan percayai.
Dan sekarang, keduanya mungkin akan menjadi satu.
3. Sisi Terang
Dalam dunia bisnis, akuisisi bukanlah hal baru. Ia sering dianggap sebagai jalan pintas untuk menstabilkan perusahaan, memperluas pasar, dan memperkuat posisi dalam ekosistem yang semakin kompetitif. Jika melihat dari sisi terang, rencana Grab untuk mengakuisisi GoTo bisa jadi bukan rencana penaklukan, melainkan upaya rasionalisasi kekuatan.
Pertama, potensi penggabungan ini bisa menghasilkan efisiensi operasional yang masif. Bayangkan satu aplikasi yang mengintegrasikan transportasi, makanan, e-commerce, dan pembayaran digital secara mulus. Tak lagi tumpang tindih armada, tak lagi membagi pangsa pasar yang sama dengan promosi yang saling menggigit. Efisiensi ini berpotensi mengurangi pemborosan dan menciptakan struktur biaya yang lebih sehat.
Kedua, dengan gabungan data pengguna dari Grab dan GoTo, peluang inovasi terbuka lebih lebar. Pengembangan AI, logistik pintar, layanan hyper-personalized—semua jadi mungkin. Tidak lagi membangun dari nol, melainkan menyatukan dua mesin besar menjadi satu superkomputer sosial-ekonomi yang bisa membaca perilaku pengguna dengan presisi yang belum pernah ada sebelumnya.
Ketiga, langkah ini bisa memperkuat posisi Asia Tenggara dalam peta global. Di tengah dominasi perusahaan teknologi Amerika dan Tiongkok, Grab-GoTo bisa menjadi penyeimbang regional. Kolaborasi ini, jika sukses, bisa melahirkan kekuatan baru yang cukup solid untuk berbicara di tingkat global. Bahkan bisa jadi inspirasi bagi negara-negara berkembang lain: bahwa kita tidak selalu harus tunduk pada raksasa Silicon Valley.
sumber: mandalika.pikiran-rakyat
Dan jangan lupakan: stabilitas finansial. Setelah melewati masa sulit pasca-IPO, GoTo memang butuh suntikan kepercayaan. Jika akuisisi ini menandakan arah baru yang lebih kuat dan terintegrasi, mungkin ini bisa menjadi kabar baik bagi investor, karyawan, hingga mitra UMKM.
Namun di dunia yang semakin kompleks, terang dan gelap sering kali hanya dipisahkan oleh sudut pandang. Apa yang disebut efisiensi oleh satu pihak, bisa dirasakan sebagai dominasi oleh pihak lain. Dan di balik janji kolaborasi, siapa yang akan memegang kendali?
4. Sisi Gelap
Di permukaan, akuisisi Grab terhadap GoTo bisa terlihat sebagai strategi bisnis yang rasional. Tapi mari kita geser layar sedikit ke kiri, dan bertanya: apa yang terjadi ketika dua kekuatan besar berhenti bersaing dan mulai bergandengan tangan?
Pertama, isu monopoli langsung mencuat. Jika Grab—yang telah mendominasi transportasi dan pengantaran makanan di sebagian besar Asia Tenggara—berhasil mencaplok GoTo, maka apa yang tersisa untuk pemain lokal lain? Apakah kita sedang menyaksikan akhir dari persaingan sehat dan awal dari satu-satunya pilihan?
Kondisi ini bukan sekadar membunuh kompetitor kecil, tapi juga menciptakan satu “gerbang utama” yang wajib dilalui oleh siapa pun yang ingin ikut dalam arus ekonomi digital. Dan gerbang itu, tentu, akan dijaga ketat. Dengan tarif yang mereka tentukan sendiri.
Kedua, kontrol terhadap data. GoTo dan Grab sama-sama menyimpan miliaran data transaksi, perilaku konsumen, lokasi, bahkan kebiasaan finansial pengguna. Jika dua pusat data raksasa ini bersatu, maka siapa yang bisa menjamin bahwa kendali atas data kita—yang secara teknis adalah “milik kita”—tidak digunakan untuk mengarahkan, memengaruhi, bahkan mengeksploitasi keputusan harian kita?
sumber: mikirduit.com
Apakah kita masih punya kebebasan memilih, atau hanya diberi ilusi pilihan dalam ekosistem tertutup yang diatur dari balik layar algoritma?
Ketiga, implikasi terhadap UMKM dan mitra kerja. Meskipun narasi besar selalu mengangkat istilah “memberdayakan pelaku usaha kecil”, konsolidasi perusahaan besar seringkali justru mengurangi daya tawar mitra. Apakah para pengemudi ojek, pedagang kecil di Tokopedia, atau warung makan lokal akan tetap bisa bersuara, atau justru makin tunduk pada satu super-aplikasi yang tak bisa dilawan?
5. Suara Regulator dan Publik
Di balik wacana akuisisi ini, muncul suara-suara yang tak bisa diabaikan. Beberapa lantang di jalan, beberapa lirih di media sosial, dan sebagian lagi hanya terdengar di ruang-ruang rapat tertutup. Tapi semuanya punya nada yang sama: kekhawatiran.
Pada 20 Mei 2025, ratusan pengemudi ojek daring dan kurir logistik turun ke jalan. Mereka bukan menolak inovasi, bukan pula anti-kemajuan. Yang mereka takutkan adalah kehilangan kendali atas penghasilan dan masa depan mereka. Dalam skenario di mana dua kekuatan digital bergabung, siapa yang akan memperjuangkan hak mitra di lapisan terbawah rantai pasok digital?
sumber: cnnindonesia.com
Kami hanya ingin kejelasan, bukan hanya algoritma yang menentukan nasib kami, ujar seorang pengemudi dalam sebuah aksi damai di Jakarta.
Di sisi lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai memberi sinyal bahwa mereka akan meneliti potensi merger ini. Tapi sinyal belum tentu tindakan. Di negeri yang sering kali lambat bereaksi terhadap dinamika digital, akankah regulator bergerak cukup cepat untuk mencegah terbentuknya kekuatan yang terlalu besar untuk diatur?
sumber: money.kompas.com
Ada semacam ironi di sini. Ketika startup kecil tumbuh, mereka dielu-elukan sebagai pahlawan ekonomi baru. Tapi ketika mereka mulai mendekati status “tak tergantikan”, hanya segelintir yang berani bertanya: apakah ini masih tentang inovasi, atau tentang menciptakan kekuasaan dalam bentuk baru?
Investor sendiri tampaknya mulai membaca peluang dan risiko dengan dua kacamata. Di satu sisi, penggabungan bisa berarti efisiensi dan nilai saham yang naik. Tapi di sisi lain, muncul risiko reputasi—terutama jika publik melihat langkah ini sebagai bentuk penguasaan pasar yang mengabaikan prinsip keadilan.
Sementara itu, masyarakat umum? Masih sibuk menunggu promo terbaru, diskon ongkir, dan cashback yang tak seberapa. Tak banyak yang sadar bahwa di balik antarmuka aplikasi yang simpel, sedang berlangsung perebutan kekuasaan ekonomi yang tak kalah rumit dari panggung politik.
Pertanyaannya:
Ketika perusahaan-perusahaan ini mulai lebih berkuasa dari kementerian, lebih berpengaruh dari partai politik, dan lebih dipercaya dari institusi negara, siapa yang akan benar-benar mewakili kepentingan publik?
6. Penutup
Jika kita membaca ini sekadar sebagai manuver bisnis, maka wajar bila akuisisi Grab terhadap GoTo dianggap sebagai langkah logis: efisiensi meningkat, pasar menyatu, dan investor tersenyum. Dunia startup pun terus berputar—dengan atau tanpa kompetitor.
Bahwa ini bukan sekadar soal logistik, transportasi, atau e-commerce.
Ini soal siapa yang mengendalikan infrastruktur digital di Asia Tenggara.
sumber: cnbcindonesia.com
Ketika satu perusahaan mengelola mobilitas warga, dompet digital mereka, riwayat belanja mereka, bahkan jam tidur dan kebiasaan sarapan mereka, maka itu bukan hanya perusahaan lagi. Itu adalah aktor geopolitik—yang bisa memengaruhi perilaku, preferensi, dan opini publik lebih cepat dari media manapun.
Lalu, pertanyaan yang tak bisa dihindari:
Jika semua terpusat di satu tangan, apakah itu memperkuat negara?
Atau justru membuat negara bergantung pada entitas yang tak terpilih dalam pemilu?
Dan lebih dalam lagi—siapa pemilik sesungguhnya dari entitas itu?
Apakah kita sedang menyambut era ekonomi digital nasional?
Atau malah menyaksikan negeri ini jadi pasar tunggal untuk agenda global yang tak kita pahami sepenuhnya?
Di dunia lama, kekuasaan ditentukan oleh siapa yang memegang senjata.
Di dunia baru, kekuasaan ditentukan oleh siapa yang memegang data.
Dan di sinilah kita berdiri sekarang:
Di ambang sejarah baru, ketika aplikasi di ponselmu bisa lebih berbahaya—atau lebih menyelamatkan—daripada siapa pun di gedung parlemen.
0 Komentar