Masa Depan Cerah Dikelola Masa Lalu Kelam
Di tengah arus globalisasi dan persaingan ekonomi yang makin tajam, Indonesia berusaha memperkuat posisinya melalui berbagai instrumen strategis. Salah satunya adalah pembentukan Danantara, sebuah lembaga yang digadang-gadang menjadi sovereign wealth fund atau dana abadi negara, mirip dengan Temasek Holdings milik Singapura atau Abu Dhabi Investment Authority dari Uni Emirat Arab.
1. Apa Itu Danantara?
Danantara resmi diluncurkan pada awal 2025 sebagai perwujudan dari ambisi besar pemerintah dalam mengelola dan mengembangkan kekayaan negara secara lebih profesional dan transparan. Lembaga ini dirancang untuk menjadi pusat kendali atas sejumlah BUMN dan aset negara yang dianggap memiliki potensi ekonomi besar, namun selama ini kurang dioptimalkan.
Melalui pendekatan korporatisasi dan pengelolaan berbasis investasi, Danantara diharapkan bisa menarik mitra strategis dari dalam dan luar negeri, serta memperkuat posisi fiskal Indonesia dalam jangka panjang.
Secara struktur, Danantara memiliki beberapa level kepengurusan, mulai dari Dewan Pengawas, Tim Eksekutif, hingga Tim Pakar dan Penasihat Internasional. Nama-nama besar di bidang ekonomi, perbankan, hingga politik—baik dari dalam negeri maupun luar negeri—turut serta dalam lembaga ini.
Namun, di balik semangat optimisme itu, muncul juga banyak pertanyaan dan kritik. Siapa saja orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan Danantara? Apakah mereka benar-benar merepresentasikan visi perubahan dan profesionalisme? Atau justru membawa jejak masa lalu yang kontroversial?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi awal dari sorotan publik terhadap Danantara, dan akan kita bahas lebih dalam pada bagian-bagian berikutnya.
sumber: antaranews.com
2. Mantan Koruptor di Kursi Strategis
Ketika Danantara diumumkan ke publik, banyak yang berharap kehadirannya menjadi babak baru dalam pengelolaan kekayaan negara: profesional, bersih, dan bebas dari jejak masa lalu yang kelam. Tapi harapan, seperti biasa, kerap harus berhadapan dengan realitas yang tak semanis presentasi PowerPoint para pejabat.
Mari kita mulai dari nama yang paling mencolok:
Burhanuddin Abdullah. Mantan Gubernur Bank Indonesia ini sempat dijatuhi hukuman 5 tahun penjara pada tahun 2008 dalam kasus korupsi dana Bank Indonesia yang mengalir ke DPR. Jumlahnya? Rp100 miliar. Meski hukum telah dijalani, rekam jejak ini bukan sesuatu yang mudah dilupakan, apalagi jika kini ia dipercaya sebagai Ketua Tim Pakar Danantara. Sebuah posisi strategis yang, ironisnya, memerlukan integritas tanpa cela.
Burhanuddin Abdullah
sumber: narasi.tv
Lalu ada Dony Oskaria, yang kini duduk sebagai Chief Operating Officer (COO) Danantara. Ia pernah diperiksa Kejaksaan Agung terkait pengadaan pesawat Garuda Indonesia, saat dirinya menjabat sebagai komisaris. Statusnya memang hanya saksi, namun publik mencatat namanya dengan penuh kewaspadaan. Dalam institusi yang mengelola triliunan rupiah, kredibilitas bukan soal teknis—ia adalah fondasi utama.
Dony Oskaria
sumber: nasional.kompas.com
Tak ketinggalan, Muliaman Hadad, sosok yang lama berkecimpung di dunia keuangan dan perbankan. Ia menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pengawas Danantara. Namun, namanya juga tercatat dalam pusaran kasus besar seperti Bank Century dan Jiwasraya. Meskipun tidak dijerat hukum, pemeriksaan intensif dari KPK sudah cukup menjadi alasan publik mempertanyakan netralitas dan kelayakannya.
Muliaman Hadad
sumber: kumparan.com
Yang jadi pertanyaan mendasar:
Mengapa lembaga yang katanya dirancang untuk memperkuat tata kelola negara justru diisi oleh mereka yang rekam jejaknya masih meninggalkan catatan kaki tebal di laporan hukum dan pemberitaan lama?
Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan cepat angkat bicara. Mereka menyebutkan bahwa pengangkatan tokoh-tokoh ini mencederai semangat reformasi birokrasi dan mengabaikan sensitivitas publik terhadap isu korupsi. Namun di sisi lain, para pendukung Danantara berdalih: mereka yang disebut punya kompetensi, pengalaman, dan sudah “membayar” kesalahan masa lalunya.
Sayangnya, publik tak hidup dari argumen teknokratis. Mereka menilai dari rasa percaya. Dan kepercayaan, sekali rusak, tak semudah mengganti jabatan di SK Kepresidenan.
3. Tokoh Asing yang Sarat Polemik
Tak cukup dengan sosok-sosok domestik yang sempat bersinggungan dengan kasus hukum, Danantara rupanya juga membuka pintu lebar-lebar untuk tokoh internasional—meski nama-nama itu lebih sering tampil di laporan HAM dan laporan perang daripada di forum investasi.
Mari kita mulai dari Thaksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand yang dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang tegas—atau dalam versi kritiknya, otoriter. Ia menjadi arsitek dari kampanye “Perang Melawan Narkoba” di awal 2000-an, yang berujung pada ribuan kematian, sebagian besar tanpa proses hukum.
Thaksin Shinawatra
sumber: www.g-news.id
Human Rights Watch mencatat bahwa banyak korban justru tidak terbukti sebagai pelaku kejahatan narkoba. Amnesty International menyebut operasi itu sebagai bentuk “eksekusi di luar hukum dalam skala besar.”
Kini, Thaksin duduk di kursi Dewan Penasihat Internasional Danantara. Posisi yang, secara simbolik, memancarkan kekuatan. Tapi di balik simbol itu, ada jejak-jejak masa lalu yang belum benar-benar dibersihkan. Ia memang belum pernah dinyatakan sebagai penjahat perang secara resmi, tapi pelanggaran HAM berskala nasional bukanlah hal yang bisa dilupakan hanya karena ia mengenakan setelan jas dalam forum investasi.
Lalu hadir juga Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, sosok yang bagi sebagian pihak merupakan negarawan visioner, dan bagi sebagian lainnya adalah simbol keterlibatan Barat dalam konflik Timur Tengah. Blair adalah tokoh sentral dalam invasi Irak tahun 2003, keputusan politik yang menewaskan lebih dari 100.000 jiwa, sebagian besar warga sipil. Hingga kini, tidak sedikit yang menyerukan agar ia diadili atas keputusannya tersebut—bahkan beberapa mantan petinggi militer Inggris ikut menyuarakan hal itu.
Tony Blair
sumber: cnnindonesia.com
Kini, Blair bergabung dalam Dewan Pengawas Danantara. Ia diharapkan membawa wawasan global, jejaring internasional, dan legitimasi barat. Tapi publik bertanya, dengan nada getir:
Apakah lembaga negara kita membutuhkan legitimasi yang bersandar pada nama-nama yang penuh luka sejarah?
Mungkin ada yang akan berkilah: pengalaman mereka tak ternilai, dan dunia investasi membutuhkan orang yang “tahu cara kerja kekuasaan”. Tapi kalau pengalaman itu dibangun dari puing-puing tragedi kemanusiaan, bukankah itu justru jadi alarm, bukan kebanggaan?
Dengan masuknya dua figur kontroversial ini, wajah Danantara tampak semakin bercampur aduk—antara harapan profesionalisme dan bayangan masa lalu yang belum selesai dipertanggungjawabkan.
4. Reaksi Publik dan LSM
Sejak struktur pengurus Danantara diumumkan ke publik, ruang digital seperti terbakar senyap. Media sosial dibanjiri komentar, mulai dari yang sinis, datar, hingga yang benar-benar geram. Di tengah tumpukan nama-nama besar itu, publik seperti menemukan satu pola lama yang kembali muncul: penguasa yang terlalu percaya diri memilih orang-orang bermasalah, lalu menyuruh rakyat untuk percaya begitu saja.
Tak butuh waktu lama, Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat suara. Dalam pernyataan resminya, ICW menyebut bahwa pengangkatan mantan narapidana korupsi seperti Burhanuddin Abdullah sebagai pakar adalah langkah yang mencederai semangat pemberantasan korupsi. Mereka menyayangkan sikap pemerintah yang tampaknya lebih tertarik pada citra “pengalaman” ketimbang integritas. Sebuah ironi, mengingat Danantara dirancang untuk mengelola ratusan triliun rupiah aset negara.
LSM HAM internasional pun ikut mencatat. Human Rights Watch dan Amnesty International dalam beberapa publikasi sebelumnya sudah lama menyerukan agar figur seperti Thaksin dan Blair dipertanggungjawabkan atas kebijakan mereka di masa lalu. Kini, ketika keduanya duduk nyaman di lembaga strategis milik Indonesia, nada kecaman itu menemukan panggung baru. Sebuah lembaga yang katanya dibangun untuk masa depan justru menyeret-nyeret warisan kelam masa lalu.
sumber: amnesty.org.nz
Sementara itu, suara publik terbelah. Sebagian memilih diam, mungkin karena lelah berharap, atau karena merasa ini hanya satu dari sekian banyak skenario yang tak bisa mereka ubah. Tapi sebagian lainnya tetap vokal—menulis petisi, menyusun laporan, membuat konten kritik, berharap suara mereka bisa menembus dinding kekuasaan yang gemar menyebut kata “transparansi” tapi sering lupa mempraktikkannya.
Yang menjadi pertanyaan:
Mengapa lembaga yang belum sempat membuktikan kinerja, sudah meminta kita memaafkan masa lalu para pengurusnya?
Apakah kepercayaan publik sedemikian mudah dibeli hanya dengan retorika investasi dan foto-foto seremonial?
Rasa skeptis bukanlah bentuk pesimisme. Ia adalah mekanisme bertahan masyarakat ketika pemerintah terlalu sering membuat keputusan tanpa menjelaskan alasan moralnya. Dalam konteks Danantara, skeptisisme itu bukan ancaman. Ia justru sinyal sehat dari warga yang masih peduli.
5. Masa Depan Danantara
Danantara lahir di atas harapan besar: mempercepat pembangunan, memaksimalkan potensi kekayaan negara, dan mengangkat Indonesia ke arena investasi global. Visi itu, di atas kertas, sungguh menjanjikan. Tapi seperti pepatah lama, “visi tanpa integritas hanyalah mimpi mahal yang dibayar rakyat.”
Dengan susunan pengurus yang dipenuhi nama-nama kontroversial—baik dari dalam maupun luar negeri—publik mulai bertanya, bukan hanya soal teknis dan akuntabilitas, tapi juga tentang moral dasar dari lembaga ini. Apakah sebuah sovereign wealth fund bisa benar-benar netral, profesional, dan bersih jika jantung kepemimpinannya berdenyut dari tokoh-tokoh yang membawa sejarah kelam?
sumber: fahum.umsu.ac.id
Risikonya bukan hanya soal pencitraan. Dalam dunia investasi, persepsi adalah mata uang. Begitu publik—baik dalam negeri maupun investor asing—meragukan integritas internal, maka nilai kepercayaan akan turun, dan Danantara bisa kehilangan daya tawarnya, bahkan sebelum ia benar-benar bekerja.
Namun demikian, kita tidak hidup di dunia yang ideal. Danantara, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki potensi besar. Jika—dan hanya jika—ada upaya serius untuk membenahi struktur internalnya, meningkatkan transparansi, serta membuka ruang partisipasi publik dalam pengawasan, lembaga ini masih bisa ditegakkan ulang. Jalan tengah mungkin bisa ditemukan: menggeser figur-figur bermasalah, melibatkan tokoh-tokoh bersih dan kompeten, serta menjadikan Danantara sebagai bukti bahwa negara masih mampu belajar dari kritik.
Pertanyaannya, seperti biasa: apakah pemerintah mau mendengar?
Atau, seperti yang sudah-sudah, semua kritik akan ditepis sebagai “gangguan narasi pembangunan”?
Masa depan Danantara masih bisa diarahkan. Tapi waktu tidak akan menunggu. Dan rakyat pun—tidak selamanya sabar menanti keajaiban dari lembaga yang bahkan belum sempat membuktikan dirinya.
Komentar
Posting Komentar