Mitos 7 Juni 1490, Majalengka Baru Resmi Jadi Kabupaten Tahun 1840?

Setiap tanggal 7 Juni, Majalengka seolah bersolek lebih dari biasanya. Jalan-jalan dibersihkan, spanduk-spanduk penuh selamat dan kebanggaan berjejer menghiasi kota. Anak-anak sekolah menghafal sejarah yang sama, tentang berdirinya kabupaten mereka pada tahun 1490. Itu adalah tanggal yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seolah tak tersentuh waktu—sebuah kepastian yang dipelihara dengan bangga.

1. Pembuka
Namun, apa jadinya jika tanggal itu ternyata bukan sebuah fakta, melainkan sekadar kesepakatan diam-diam yang tidak pernah diuji secara historis? Apa jadinya jika hari lahir kota ini bukan seperti yang selama ini dipercaya, melainkan jauh lebih muda dari yang dibayangkan?

Seperti membongkar lemari tua warisan nenek, kita mulai menyadari bahwa tidak semua cerita yang selama ini kita dengar tersimpan rapi dalam dokumen. Sebagian hanyalah debu dari dongeng yang perlahan berubah menjadi kepercayaan. Dan ketika para sejarawan mulai membongkar arsip kolonial, membaca surat keputusan dari abad ke-19, dan memverifikasi jejak-jejak administratif, satu pertanyaan mulai bergaung di benak banyak orang:

sumber: kumparan.com

Apakah Majalengka benar-benar lahir pada 7 Juni 1490… atau selama ini kita hanya sedang merayakan bayangan masa lalu?

Perubahan ini bukan sekadar soal tanggal. Ia adalah benturan antara tradisi dan kejujuran, antara mitos dan dokumen, antara yang diyakini dan yang dibuktikan. Dan mungkin—seperti semua hal yang menyangkut sejarah—kebenaran yang ditemukan justru akan menggugurkan kenyamanan yang telah lama kita peluk.

2. Latar Belakang Sejarah
Di balik gegap gempita setiap perayaan Hari Jadi Majalengka, tersimpan sebuah tanggal yang tak pernah benar-benar dipertanyakan: 7 Juni 1490. Sebuah angka yang seolah diukir di batu, begitu pasti, begitu diterima.

Tapi dari mana sebenarnya asal-usul tanggal itu?

Tak ada dokumen resmi dari masa lalu yang menyebutkannya. Tak ditemukan piagam kerajaan, prasasti batu, atau catatan kolonial yang menyatakan bahwa Majalengka didirikan pada hari itu. Tanggal 7 Juni 1490 lebih mirip seperti potongan narasi yang disatukan dari cerita rakyat, naskah babad yang penuh simbolisme, dan ingatan-ingatan kolektif yang telah dijadikan pegangan turun-temurun.

sumber: hypeabis.id

Beberapa pihak menyebutkan bahwa penetapan tahun 1490 berkaitan dengan tokoh-tokoh legendaris seperti Pangeran Muhammad dan Nyi Rambut Kasih. Nama-nama yang masih hidup dalam cerita rakyat, tetapi kabur dalam literatur akademik. Ada yang mengatakan bahwa wilayah Majalengka telah ada sejak masa kerajaan Sunda Galuh, dan tanggal tersebut adalah semacam simpul simbolik dari kejayaan masa lampau.

sumber: abchannel.id

Namun, saat kita menelusuri lebih dalam, tanggal ini tampak menggantung di udara—indah, meyakinkan, tapi tidak berpijak pada arsip atau fakta sejarah yang konkret. Ia lebih mirip seperti legenda yang dipelihara karena kita ingin percaya, bukan karena ia bisa dibuktikan.

Sejarah versi lama ini bertahan bukan karena kokoh, melainkan karena lama tak disentuh. Ia nyaman dalam tradisi, dalam upacara, dalam lagu-lagu daerah dan slogan pemerintahan. Tidak ada yang benar-benar ingin menyelidikinya lebih jauh, karena... mengapa harus menggali sesuatu yang selama ini membuat kita merasa utuh?

Namun sejarah yang tak diuji adalah sejarah yang rapuh. Dan ketika akhirnya pertanyaan itu diajukan—“Benarkah Majalengka berdiri pada 7 Juni 1490?”—maka tak ada pilihan lain selain menghadapi apa pun yang ditemukan di balik tirai waktu.

3. Temuan Baru
Untuk waktu yang lama, tak ada yang benar-benar mencari. Sejarah Majalengka hidup dari cerita yang disampaikan mulut ke mulut, dari simbol yang dilembagakan dalam seremoni, bukan dari lembaran arsip yang tersimpan di rak-rak lembab milik lembaga kolonial.


Hingga akhirnya, para sejarawan memutuskan untuk bertanya lebih dalam—bukan kepada legenda, tetapi kepada dokumen. Dan di sanalah, dalam baris-baris formal bahasa Belanda tua yang nyaris terlupakan, sebuah keputusan gubernur jenderal tertanggal 11 Februari 1840 muncul seperti cahaya yang menyorot balik panggung yang selama ini ditutupi tirai.

Besluit Gubernur Jenderal D.J. de Eerens, sebuah keputusan administratif dari pemerintahan Hindia Belanda, menyatakan secara eksplisit pembentukan Kabupaten Majalengka sebagai entitas administratif baru, dengan memindahkan pusat kekuasaan dari wilayah lama bernama Maja ke sebuah daerah bernama Sindangkasih—wilayah yang kini kita kenal sebagai jantung Kota Majalengka.

sumber: koropak.co.id

Ini bukan fragmen dongeng. Ini adalah teks legal, disusun oleh tangan-tangan birokrasi kolonial yang teliti dan dingin. Tak ada romantisme, hanya struktur.

Penetapan ini bukan semata soal pemindahan lokasi. Ia adalah penanda resmi kelahiran sebuah wilayah kabupaten dalam sistem pemerintahan modern Hindia Belanda. Artinya, jika kita bicara soal kelahiran Kabupaten Majalengka sebagai struktur pemerintahan, maka tanggal yang sah dan dapat diverifikasi bukanlah 1490—melainkan 11 Februari 1840.

Perubahan ini menggeser banyak hal. Ia tak hanya mengubah tanggal di kalender upacara, tapi juga mengguncang akar keyakinan historis yang telah lama tertanam. Tiba-tiba, Majalengka tak lagi berusia lima abad. Usianya dipangkas menjadi dua ratusan tahun—dan bagi sebagian orang, itu seperti kehilangan bagian dari harga diri.

Namun, sejarah bukanlah soal kenyamanan. Ia adalah soal akurasi.

Dan mungkin inilah waktunya kita bertanya, bukan sekadar tentang kapan Majalengka dilahirkan, tapi juga siapa yang sebenarnya menentukan kelahirannya—rakyatnya, atau penguasa kolonial?

4. Analisis Akademis
Tidak semua sejarah bisa ditulis ulang, tapi sebagian sejarah memang harus diperiksa ulang. Dan ketika para akademisi mulai menelusuri akar Hari Jadi Majalengka, mereka tidak mencari puing-puing mitos, melainkan menelaah dokumen, struktur pemerintahan, dan logika historis.

Salah satunya adalah Prof. Dr. Hj. Nina Lubis, seorang sejarawan terkemuka yang sudah lama meneliti sejarah tatar Sunda. Dalam berbagai diskusi dan makalahnya, ia menegaskan bahwa banyak kabupaten di Jawa Barat—termasuk Majalengka—baru benar-benar memiliki bentuk administratif setelah intervensi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bukan karena wilayah itu kosong sebelumnya, melainkan karena struktur formal seperti regentschap (kabupaten) adalah produk sistem pemerintahan modern, bukan kerajaan lokal.

sumber: republika.id

Dengan kata lain, sebelum tahun 1840, wilayah Majalengka memang sudah ada, dihuni, bahkan mungkin diperintah oleh tokoh lokal. Tapi belum dalam bentuk kabupaten yang dicatat dalam arsip kolonial. Jadi, jika yang kita maksud sebagai “hari jadi” adalah hari kelahiran sebuah entitas pemerintahan resmi, maka mengacu pada keputusan gubernur jenderal adalah langkah yang tidak hanya sahih, tapi juga jujur secara historiografi.

Majalengka bukan satu-satunya yang mengalami dilema ini. Kabupaten Bandung, misalnya, pernah melalui proses yang hampir serupa—melacak ulang kelahirannya berdasarkan dokumen, bukan legenda. Begitu pula Kabupaten Garut, yang tanggal jadinya mengacu pada keputusan administratif masa kolonial, bukan pada kisah lisan.

Fenomena ini menunjukkan satu hal yang mendasar: bahwa sejarah lokal sering kali berdiri di persimpangan antara dua poros—identitas budaya dan ketepatan data. Menjaga yang satu tak selalu berarti mengingkari yang lain, tapi menyatukan keduanya sering kali butuh keberanian dan kedewasaan kolektif.

Maka, jika kita mempertahankan 1490 sebagai bentuk penghormatan terhadap narasi leluhur, itu sah. Tapi jika yang kita cari adalah tanggal lahir Majalengka sebagai kabupaten yang terstruktur secara formal, maka 11 Februari 1840 bukan sekadar tanggal alternatif—ia adalah fondasi nyata yang tercatat dengan tinta hukum.

5. Reaksi dan Kontroversi
Perubahan tanggal lahir sebuah kabupaten bukan sekadar revisi catatan administratif. Ia adalah guncangan kecil dalam kesadaran kolektif—dan seperti semua perubahan narasi besar, ia tak datang tanpa riak. Bahkan sebelum tinta Keputusan Bupati mengenai perubahan Hari Jadi Majalengka benar-benar kering, bisik-bisik mulai menyebar di warung kopi, ruang kantor, hingga media sosial.

Sebagian masyarakat terkejut. Bagi mereka, tanggal 7 Juni 1490 bukan sekadar angka—ia adalah pusaka, semacam warisan tak tertulis yang telah menyatu dalam jati diri warga Majalengka. Bertahun-tahun lamanya, sekolah-sekolah, pemerintah, hingga keluarga-keluarga telah menjadikan tanggal itu sebagai penanda kebanggaan. Maka ketika muncul angka baru: 11 Februari 1840, reaksi pertama yang muncul bukanlah rasa ingin tahu, melainkan rasa kehilangan.

Beberapa menyebut ini sebagai “penghapusan sejarah.” Ada yang curiga bahwa perubahan ini adalah proyek elit, keputusan teknokratik yang menjauh dari aspirasi rakyat. Ada pula yang merasa bahwa sejarah lokal sedang “dibonsai” oleh logika kolonial, seolah masa sebelum Belanda datang tidak dihitung sebagai eksistensi.


Namun, tak sedikit pula yang menyambut perubahan ini sebagai bentuk pendewasaan sejarah. Sejumlah akademisi, guru, dan generasi muda mulai melihat bahwa kebenaran sejarah harus berani dibongkar ulang jika memang ada data yang lebih valid. “Apa gunanya merayakan kebesaran masa lalu jika ia berdiri di atas fondasi yang kabur?” begitu kira-kira suara dari mereka yang mendukung langkah ini.

Media sosial menjadi arena paling terbuka untuk debat. Di satu sisi, muncul unggahan nostalgia tentang perayaan 7 Juni yang kini terasa seperti kenangan masa kecil yang dipotong paksa. Di sisi lain, muncul infografik dan arsip digital yang menjelaskan konteks kolonial, keputusan gubernur jenderal, dan pentingnya verifikasi sejarah berbasis dokumen.

Dan seperti biasa, di tengah riuh perdebatan itu, suara-suara netral yang mengajak duduk bersama dan merenungkan secara jernih sering kali tenggelam dalam kebisingan algoritma.

Tapi sejarah tetap berjalan, dan dalam banyak kasus, kebenaran tidak pernah benar-benar populer pada awalnya.

6. Implikasi dan Makna di Balik Perubahan
Perubahan tanggal hari jadi Majalengka, dari 7 Juni 1490 menjadi 11 Februari 1840, pada akhirnya bukan semata soal angka di kalender atau koreksi administratif. Ia adalah momen kontemplatif. Sebuah peluang langka ketika sebuah kota—beserta seluruh masyarakatnya—dipaksa untuk berhenti sejenak dan bertanya: Siapa kita, sebenarnya?

Bagi sebagian orang, perubahan ini terasa seperti upaya melucuti sejarah. Seolah Majalengka yang dahulu agung dan purba kini direduksi menjadi “produk kolonial.” Tapi bagi mereka yang melihat lebih dalam, justru di sinilah letak keindahannya: kita mulai menyadari bahwa sejarah yang jujur tak harus selalu megah. Ia hanya perlu tepat—dan dari ketepatan itulah kita bisa menyusun kembali narasi kebanggaan dengan cara yang lebih kokoh.

Dengan menerima 11 Februari 1840 sebagai tonggak administratif yang sah, bukan berarti kita menolak warisan sebelum itu. Tidak. Justru kita bisa mulai memilah antara yang simbolik dan yang struktural. Kita bisa merayakan kejayaan Majalengka masa lalu sebagai jejak peradaban lokal—kerajaan, tokoh, budaya—tanpa harus menjadikannya pondasi kabupaten modern yang berpijak pada hukum negara.


Dan di sinilah letak makna terdalamnya:
Bahwa identitas tidak selalu harus lahir dari mitos. Terkadang, ia justru tumbuh dari keberanian mengakui kebenaran, meski itu berarti mengubah apa yang sudah kita anggap pasti selama puluhan tahun.

Kita tidak sedang kehilangan sejarah—kita sedang memperhalus lensa untuk melihatnya lebih jernih.

Dengan cara ini, Majalengka menjadi salah satu kabupaten yang berani berdamai dengan arsip. Ia mengajarkan kita bahwa menulis ulang sejarah bukan berarti menghapus masa lalu, melainkan merapikannya agar bisa dibaca oleh generasi mendatang dengan pemahaman yang utuh.

Karena pada akhirnya, sejarah bukan soal siapa yang lebih dulu, tapi siapa yang lebih jujur dalam mengingat.

Posting Komentar

0 Komentar